No Misu: Menjadi Terbaik Kedua tidak cukup baik
Catatan: diterbitkan pertama oleh wpadmin pada 11 Mei 2020; disunting dan diterbitkan ulang oleh Tjan: 16 Juli 2023
Sukses Bisnis Jepang sebagai salah satu Contoh
Jepang menganggap kebangkitannya menjadi salah satu negeri maju yang besar berasal dari berbagai faktor internal dan eksternal. Namun, berapa banyak pun bantuan yang diperoleh orang Jepang dari teknologi luar negeri, pasar-pasar Amerika dan Eropa yang besar sekali, kaya dan terbuka serta berbagai perang oleh Amerika di Korea (1950-1953; antara Korea Selatan yang dibantu oleh AS dkk vs Korea Utara yang dibantu oleh China dan Russia) dan Vietnam (1955-1975, antara Vietnam Selatan yang dibantu oleh AS dkk dan Vietnam Utara yang dibantu oleh China dan Russia), tidak akan ada Jepang yang maju jika tidak karena sejumlah faktor budaya yang telah benar-benar menjadikan orang Jepang sebagai salah satu bangsa yang unggul.
Obsesi dengan Mutu
Satu dari berbagai faktor budaya yang menjadi salah satu pilar utama dalam struktur ekonomi yang dibangun oleh orang Jepang adalah obsesi mereka pada mutu. Dari sekitar abad ke-5 dan ke-6, ketika Jepang mulai pertama kali mengimpor teknologi keterampilan tangan dan para artisan (perajin tangan yang terampil) dari Korea dan Tiongkok, orang Jepang semakin terpapar pada berbagai seni dan keterampilan yang dibuat oleh para ahli.
Pemagang belajar selama 10-30 Tahun
Orang Jepang juga menerapkan dan menguraikan panjang-lebar tradisi Tiongkok kuno dalam menggunakan pendekatan guru-pemagang (master-apprentice; seorang guru membimbing pemagang dalam bekerja) untuk melatih para artisan dan craftsmen (para seniman dengan keahlian teknik). Anak laki-laki, kadang-kadang dari usia tujuh atau delapan tahun, secara rutin dijadikan pemagang kepada para artisan dan craftsmen yang ahli selama 10 hingga 30 tahun.
Standar-Standar Mutu yang Tertinggi di Dunia
Sistem itu, yang diteruskan dari generasi ke generasi, menghasilkan banyak sekali tukang kayu, pengukir, pelukis, pembuat tembikar yang ahli dan banyak artisan lainnya, sehingga secara bertahap menaikkan tingkat mutu segala sesuatu yang diproduksi di Jepang dan mengilhami orang biasa Jepang dengan apa-apa yang mungkin benar-benar telah menjadi standar-standar mutu yang tertinggi di dunia.
Ketika Jepang diindustrialisasikan (dijadikan negeri industri) untuk kali pertama antara 1870 dan 1895 serta negeri itu mulai menghasilkan produk-produk Barat, yang biasanya di bawah arahan para importir luar negeri, mereka tidak dapat menerapkan berbagai standar mutu tradisional mereka karena produk-produk tersebut masih baru bagi orang Jepang dan dibuat dengan perlengkapan yang tidak dikenal serta diproduksi secara massal.
Impor Metode Kendali Mutu yang Tinggi untuk Produk dan Jasa
Fenomena itu terulang setelah berakhirnya Perang Dunia II, namun kali itu dengan akhir yang berbeda. Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an, para insinyur Jepang, yang bekerja sama dengan para penguasa pendudukan Amerika, memutuskan untuk memperkenalkan metode pengendalian mutu yang terbaru ke Jepang.
Pada 1950, W. Edward Deming, ahli kendali statistik dari Amerika Serikat, diundang untuk memberi kuliah di Jepang. Pada 1954, ia disusul oleh J.M. Juran, yang juga ahli kendali mutu dari Amerika.
Catatan editor: karena jasa Deming, sejak 1951, Jepang sudah mengadakan program pemberian Hadiah Deming (Deming Prize) kepada individu dan perusahaan yang menerapkan Pengelolaan Mutu secara Total (TQM). Per saat ini (2023), program itu sudah menjadi salah satu yang sudah berjalan paling lama dan paling tinggi di dunia.
Penggabungan Tradisi Guru-Pemagang dengan Metode Kendali Mutu yang Impor
Selama dekade berikutnya, orang Jepang menyatukan berbagai metode kendali mutu yang mereka pelajari dari kedua orang ahli Amerika tersebut dengan pendekatan tradisi guru-pemagang untuk pelatihan dan obsesi mereka pada kerapian, presisi dan mutu, untuk merekayasa dan menghasilkan sederetan produk bermutu tinggi yang menggemparkan dunia.







