- Indonesia saat ini
Indonesia sedang mengalami lima hal sekaligus: (1) semakin banyak penghematan oleh kalangan menengah dan atas plus perusahaan; (2) ketidak-pastian tentang kapan pandemi Covid-19 akan berakhir; (3) angka pengangguran yang naik; (4) jutaan UMKM sudah gugur karena kehabisan modal dll;
dan (5) perbankan yang DPK-nya naik terus tetapi kekurangan saluran yang sehat untuk dipinjamkan kecuali membeli SUN, atau meminjamkannya ke LN, yang jelas sulit.
Pertumbuhan DPK Perbankan Indonesia
Jadi, hal nomor (1), yaitu Penghematan, menimbulkan paradok, yaitu hal
nomor (5).
2. Langkah-Langkah Pemerintah
Untuk mempertahankan, bahkan kalau bisa, menaikkan angka pertumbuhan GDP sekaligus “membantu” perbankan, pemerintah mencoba mengatasi paradok penghematan itu dengan: meminjam banyak uang dari dalam dan luar negeri, yang merupakan topik debat harian di media massa maupun sosial tentang keuntungan dan kerugiannya plus akibatnya. Pinjaman oleh pemerintah pun menimbulkan dilema yang ditimbulkan oleh efek crowding-out di dalam negeri, yaitu pinjaman pemerintah dari perbankan, investor pasar modal dll “mendepak keluar (crowd out)” sektor swasta dari kalangan yang sama dan menyebabkan berkurangnya pasokan modal kepada sektor swasta dan juga tingginya suku bunga utang. Contoh: yield SUN/SBN RI dengan tenor 10 tahun hampir selalu di atas 6% per tahun, bahkan pernah sd 16% per tahun (lihat grafik di bawah ini) dan jika ada pelarian modal (capital flight) keluar Indonesia atau faktor luar lain maupun faktor dalam negeri.
Tabel Perbandingan Yield SUN Tenor 10 tahun RI dan Negeri-Negeri Sejawat
3. Akibat-Akibat Lain dari Tingginya Yield SUN Indonesia
(i) Mayoritas super para pengusaha enggan berinvestasi, apalagi dalam dalam R&D yang bersifat jangka panjang dan penuh risiko gagal; (ii) Mereka juga sulit bersaing di pasar ekspor, apalagi dengan produk dan jasa negeri lain yang bunganya jauh di bawah Indonesia,
misalnya China:
(iii) Mereka juga sulit mengembangkan usaha untuk menambah kapasitas dan menangkap peluang bisnis baru; (iv) Perbankan lebih suka membeli SUN daripada meminjamkan uang mereka kepada sektor swasta; (v) Dll.
4. Paradok Penghematan yang bikin pusing Keynes & Jepang
4.1 Keynesian Economics (Ilmu Ekonomi Keynes)
Keynes menerbitkan bukunya “The General Theory of Employment, Interest and Money” pada 1936, tempat ia mengajukan teori-teori makroekonominya, terutama tentang pentingnya peran fiskal, alias pemerintah. Untuk mengatasi pengangguran, pemerintah dianjurkan pinjam uang untuk membiayai kegiatan produktif, misalnya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur umum: Pinjaman uang untuk membantu menaikkan pertumbuhan GDP dll. Selain itu, pemerintah sebaiknya turun tangan ketika ada masalah besar di bidang ekonomi. Perangkat teori-teori itu, yang sekarang lebih disebut sebagai Keynesian Economics,” jelas bertentangan dengan kapitalisme liberal Adam Smith.
Karena besar pengaruh dan manfaatnya di seluruh dunia, penerapan ilmu ekonomi Keynes itu sering disebut juga sebagai “Revolusi Keynes,” sehingga mayoritas pemerintahan di dunia, yang mencakup Indonesia, “dengan senang hati” memakainya.
Paradok Penghematan vs Hemat Pangkal kaya
Selain teori-teori di atas, Keynes mengajukan problem makroekonomi yang disebut sebagai “the paradox of thrift,” atau “paradok penghematan” yang melawan moto “Hemat Pangkal Kaya.”
4.2 Arti Paradok Penghematan
Setiap negeri, apalagi yang sedang berkembang, membutuhkan modal untuk investasi yang merupakan jalan utama untuk meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan dan GDP sehingga menjadi makmur. Investasi saat ini menentukan pertumbuhan ekonomi masa depan.
Kenaikan GDP bergantung pada empat faktor utama: (i) tabungan nasional (rumah tangga + perusahaan + pemerintah) yang bisa dipakai untuk investasi, (ii) produktivitas, (iii) surplus dagang (ekspor melebihi impor) dan investasi langsung asing (FDI).
Tabungan merupakan salah satu hasil penghematan. Semakin banyak tabungan, semakin banyak modal yang tersedia untuk investasi. Nenek moyang kita meringkasnya sebagai berikut :”Hemat pangkal kaya.” Tetapi, penghematan sebuah bangsa atau wilayah secara besar-besaran menimbulkan masalah: berkurangnya kegiatan ekonomi & investasi serta mandegnya pertumbuhan ekonomi setempat. Itulah paradok penghematan dalam ekonomi makro.
Catatan: Penghematan seorang individu atau perusahaan biasanya menguntungkan individu atau perusahaan itu karena mereka akan kaya, yaitu bukti bahwa “hemat pangkal kaya.” Jika hasil penghematan itu ditabung di bank setempat dengan mendapatkan bunga, bank itu akan meminjamkan uang itu kepada individu dan/atau perusahaan lain. Tetapi, jika mayoritas individu dan perusahaan di negeri atau wilayah setempat menghemat dan sedikit sekali investasi oleh pihak lokal maupun PMA, ekonomi setempat akan mandeg.
Akibat-akibat penghematan oleh sebuah negeri:
1. GDP-nya bisa mandeg atau hanya tumbuh sedikit setiap tahun;
2. Para pengusaha dalam maupun LN enggan berinvestasi;
3. Pendapatan pajak dan pendapatan lainnya oleh pemerintah juga ikut mandeg atau tumbuh sedikit per tahun padahal kebutuhan pemerintah semakin naik (untuk tambah gaji, pemeliharaan infrastruktur, bayar utang dan bunga pinjaman dsb);
4. Akibat ikutannya: rakyat semakin pesimis terhadap kemajuan negerinya dan semakin hemat dalam banyak hal;
5. Dsb.
Solusi yang umum untuk mendorong rakyat berbelanja dan para pengusaha berinvestasi:
A. oleh negeri berkembang seperti China:
1. Ekspor produk dan jasa sebanyak mungkin;
2. Surplus dagang dipakai untuk membangun infrastruktur, memperbaik pendidikan & pelayanan kepada rakyat sehingga produk dan jasanya semakin mampu bersaing di LN dan semakin banyak yang dapat diekspor;
B. oleh banyak negeri maju:
1. Menambah jumlah jaminan sosial, jaminan kesehatan, jaminan usia tua, bantuan keuangan selama pensiun dll;
2. Meminjam uang dari dalam dan LN, misalnya AS untuk tutupi defisit anggaran negara;
3. Jika kepepet, menaikkan tarif pajak, terutama tarif pajak untuk orang kaya;
4. Dsb.
Hasil-hasil yang diharapkan oleh kedua golongan negeri itu:
1. Rakyat menjadi optimis tentang masa depan mereka sehingga berani berbelanja dan mengurangi tabungan;
2. Para pengusaha dalam dan LN menambah investasi di bidang yang sedang jalan (brownfield) dan melakukan investasi di bidang-bidang yang baru (greenfield);
3. Dsb.
Akibat-akibat peminjaman uang untuk tutupi defisit negara:
1. Utang negara bertambah, misalnya AS, Inggeris,
2. Wibawa pemerintah turun di mata rakyatnya dan di LN;
3. Negerinya bisa mengalami stagflasi, yaitu gabungan kemandegan ekonomi dan inflasi tinggi;
4. Akan tiba waktunya pemerintah tidak bisa meminjam uang lagi karena kehilangan kepercayaan investor dalam dan LN;
5. Negerinya bisa pailit, misalnya Venezuela, atau gagal bayar utang, misalnya Argentina;
6. Dsb
Contoh kemandegan: Ekonomi Jepang, yang sangat makmur, sudah mandeg hampir selama 30 tahun terakhir ini karena bangsa Jepang menghemat. Selain itu, neraca dagang internasional Jepang umumnya terus surplus. Akibatnya: (1) Perbankan Jepang kebanjiran tabungan sehingga mereka meminjamkannya ke luar negeri dengan membeli obligasi atau memberikan kredit; (2) Perusahaan-perusahaan Jepang juga memegang banyak sekali cash.
Perusahaan-perusahaan Tbk Jepang tercatat juga memegang banyak sekali cash, sejumlah USD 2,47 triliun per akhir 2019 (Reuters, 21 Mei 2020);
(3) Akibat ikutannya: suku bunga deposito di Jepang sudah nol atau bahkan minus sejak tengah tahun 2015!!! Pelajaran: ekonomi negeri yang makmur dan neraca dagang internasionalnya surplus berkelanjutan, tapi rakyatnya terus menghemat sehingga semakin makmur dan perbankan kebanjiran tabungan dll, akan mandeg.
Rincian Jawaban Jerman, Singapura & China untuk Paradok Penghematan
Jerman
Jerman menjawab paradok itu dengan cara “mengekspor produk dan jasa sebanyak-banyaknya dan selalu surplus dagang” sambil rakyat mereka tetap menabung untuk terus memupuk modal dan persiapan hari tua. Selain itu, Jerman mengajarkan rakyat “ilmu membuat barang” sehingga banyak sekali produk kelas tinggi Jerman yang kesohor dan jadi impian mayoritas orang di dunia untuk memilikinya: Mercedes Benz, Audi, Porsche dsb.
Salah satu hasil lainnya, Jerman adalah negeri eksportir terbesar ketiga di dunia setelah China dan AS sehingga mengalahkan Belanda dan Jepang (https://www.worldstopexports.com/worlds-top-export-countries/).
Opini Penulis: Dari Jerman, Indonesia bisa belajar salah satu cara yang terbaik untuk tumbuh besar dan sehat plus rasio Gini yang rendah dengan cara: hidup hemat, tanpa utang luar negeri, banyak perusahaan menengah, banyak ekspor produk dan jasa teknologi (rasio ekspor terhadap GDP-nya mencapai 47,46% selama 2021; atau 29,4% secara rata-rata selama periode 1970-2021 (https://www.theglobaleconomy.com). (Baca juga Pentingnya Spesialisasi:https://www.kompasiana.com/tjansietek/5a926b7df133440ba3323532/pentingnya-spesialisasi-bagi-bangsa-perusahaan-dan-individu).
Untuk lengkapnya, silakan klik:https://lijusu.com/indonesia-sebaiknya-belajar-dari-jerman-ekspor-produk-dan-jasa-sebanyak-banyaknya-plus-selalu-surplus-dagang/
Di ASEAN, Singapura, yang punya hanya SDM yang andal tetapi hampir tidak punya SDA, juga menjawab dengan cara yang mirip: menabung, mengekspor dan menjadi pusat perdagangan plus keuangan Asia Tenggara. Salah satu hasilnya: Singapura adalah negeri terkaya nomor empat di dunia setelah Qatar, Macao & Luxembourg secara pendapatan per kepala (per capita income, atau per capita GDP) (https://www.worldometers.info/gdp/gdp-per-capita/). Singapura juga terkenal sebagai negeri paling bersaing nomor 5 di dunia (https://www.imd.org/centers/world-competitiveness-center/rankings/world-competitiveness/).
Di Asia Timur, China melakukan hal yang serupa dengan Jerman: menabung dan mengekspor. Salah satu hasilnya: cadangan devisa China (USD 3,2 T; terbanyak di dunia) per akhir Agustus 2021 (dan naik menjadi USD 3,426 triliun per akhir 2021, lalu turun menjadi USD 3,117 triliun per akhir November 2021). Indonesia punya USD 143 miliar per akhir Agustus 2021 (lalu turun menjadi USD 134 miliar per akhir 2021).
Khusus tentang China, FDI disambut dengan hangat, apalagi yang greenfield, alias membuka pabrik baru, bukan takeover pabrik lokal. Salah satu hasilnya: jumlah investasi langsung asing (FDI stock) di China mencapai USD 3,623 triliun (sekitar IDR 56 kuadriliun, dengan kurs USD 1= IDR 15.500), yang tidak mencakup laba ditahan dan diinvestasikan kembali oleh para pemilik PMA itu. Jumlah USD 3,623 triliun itu adalah data resmi pemerintah China per akhir 2021 (https://www.safe.gov.cn/en/2018/0928/1459.html) sedangkan lembaga-lembaga asing menyatakan “baru” USD 2,064 triliun per akhir 2021 (salah satunya:https://santandertrade.com/en/portal/establish-overseas/china/foreign-investment).
Catatan: Selain FDI, nilai investasi asing secara portofolio dalam saham dan sejenisnya plus obligasi pemerintah maupun swasta China juga besar sekali: USD 2,155 triliun (IDR 33,4 kuadriliun) per akhir 2021.
Sebagai pembanding: Di Indonesia, FDI stock USD 268,34 miliar dan nilai total investasi portofolio asing USD 269,56 miliar per akhir 2021 (https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Documents/Laporan_PIII_Tw_IV-2021.pdf). Kesimpulan: Jadi, Indonesia masih perlu tambah FDI baru sejumlah USD 434,34 miliar (atau 1,618 X yang sudah ada per akhir 2021) lagi supaya FDI stock kita setara dengan FDI stock di China secara per capita atau per orang (jumlah penduduk China = 5,147 x penduduk Indonesia). Tentu itu pekerjaan bareng pemerintah dan rakyat , yang mencakup para pengusaha, atau Indonesia Inc.
FDI sebaiknya ditugaskan mengekspor produk-produk mereka ke seluruh dunia dan membawa masuk hasilnya ke Indonesia sesudah dipotong pembayaran bunga dan cicilan utang investasi mereka (jika ada)!!!
Jumlah FDI ke China semakin naik
Contoh:
(i) Selama tahun 2020 saja, jumlah FDI ke China mencapai USD 144 miliar (https://www.scmp.com/economy/china-economy/article/3118469/china-fdi-rose-record-level-2020-despite-coronavirus-fastest);
(ii) Selama tahun 2021, jumlah FDI ke China mencapai USD 180,96 miliar (www.statista.com, dikutip pada 5 Desember 2022).
Indonesia
Indonesia belum mampu menjawab paradok itu karena rasio ekspor terhadap GDP baru mencapai 21,56%, sedikit di atas rasio impor (18,86%) selama 2021 (https://www.tradingeconomics.com). Itu pun karena adanya lonjakan ekspor komiditas (CPO, batubara dll.) yang tiba-tiba selama pandemi Covid-19. Bahkan sebelum pandemi, nilai impor umumnya melebihi ekspor, apalagi ditambah dengan penambahan impor karena dan juga untuk banyaknya proyek pembangunan dan perbaikan infrastruktur di seluruh Indonesia.
Sekarang, dilema itu semakin menuntut jawaban yang segera dan tepat
Sejak pandemi di mulai pada Februari 2020, jutaan usaha kecil dan menengah tutup sehingga mayoritas makan modal mereka. Salah satu akibatnya, walaupun pandemi semakin mereda, mereka tidak punya cukup modal atau tidak punya modal sama sekali, bahkan banyak yang minus, sehingga tidak bisa langsung memulai kembali usaha mereka.
C. Solusi untuk Indonesia:
1. Lakukan kampanye khusus untuk mendorong kalangan menengah atas berbelanja, terutama segala macam produk dalam negeri.
2. Gencarkan kegiatan ekspor.
3. Berikan insentif keuangan maupun administratif yang luar biasa untuk menaikkan daya saing produk dan jasa Indonesia di LN sehingga eksportir semakin bergairah dan kompetitif.
Semoga bermanfaat.
(TST)

